Bahaya Zina
â ôs% yxn=øùr& tbqãZÏB÷sßJø9$# ÇÊÈ tûïÏ%©!$# öNèd Îû öNÎkÌEx|¹ tbqãèϱ»yz ÇËÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd Ç`tã Èqøó¯=9$# cqàÊÍ÷èãB ÇÌÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd Ïo4qx.¨=Ï9 tbqè=Ïè»sù ÇÍÈ tûïÏ%©!$#ur öNèd öNÎgÅ_rãàÿÏ9 tbqÝàÏÿ»xm ÇÎÈ wÎ) #n?tã öNÎgÅ_¨urør& ÷rr& $tB ôMs3n=tB öNåkß]»yJ÷r& öNåk®XÎ*sù ãöxî úüÏBqè=tB ÇÏÈ Ç`yJsù 4ÓxötGö/$# uä!#uur y7Ï9¨s y7Í´¯»s9'ré'sù ãNèd tbrß$yèø9$# ÇÐÈ á
Dalam hadits di atas Nabi r menyebut hal yang paling banyak terjadi secara berurutan. perbuatan zina itu lebih sering terjadi dibanding dengan pembunuhan, dan pembunuhan lebih sering terjadi dibanding dengan riddah (keluar dari agama Islam). Juga urutan diatas berdasarkan dosa besar, kemudian dosa yang lebih besar dan seterusnya. Dan kerusakan yang ditimbulkan oleh zina sungguh bertolak belakang dengan kemaslahatan dalam kehidupan.
Sebab, bila seorang wanita melakukan zina berarti ia telah membuat aib keluarga, suami dan kerabatnya serta mencoreng wajah mereka di hadapan orang banyak. Bila dia sampai hamil kemudian membunuh anaknya, berarti dia telah menggabungkan perbuatan zina dengan pembunuhan, dan jika setelah hamil ia tetap hidup bersama suaminya, berarti dia telah memasukkan pada keluarga si suami dan keluarga si wanita sendiri orang lain yang bukan anggota keluarga mereka. Dan si anak yang tak sah tersebut mungkin mendapat warisan yang bukan haknya, ia melihat aurat dan berkhalwat dengan (ibunya) wanita yang bukan mahramnya, bernasab kepada orang yang bukan bapaknya, Dan masih banyak lagi kerusakan-kerusakan lain yang ditimbulkan oleh zina. Jika yang berzina itu adalah seorang pria, maka hal ini –selain hal yang di atas- juga akan menyebabkan simpang siurnya hubungan nasab, kemudian merusak kehormatan wanita yang terjaga dan menjadikan hidupnya hancur dan binasa.
Jadi, di belakang perbuatan keji ini (zina) terdapat kerusakan dunia dan agama sekaligus. Sungguh betapa banyak pelanggaran terhadap larangan-larangan (pelecehan terhadap kehormatan), penyia-nyiaan hak orang dan penganiayan yang ada di balik perbuatan zina.
Diantara dampak yang ditimbulkan oleh zina adalah bahwa zina dapat mendatangkan kefakiran, memperpendek umur dan membuat wajah pelakunya suram serta menimbulkan kebencian orang.
Termasuk di antara dampaknya pula, bahwa zina dapat memporak-porandakan hati, membuatnya sakit kalau tidak sampai mematikannya, juga mendatangkan perasaan gundah, gelisah dan takut, serta menjauhkan pelakunya dari malaikat dan mendekatkannya kepada setan. Tak ada bahaya –setelah bahaya perbuatan membunuh- yang lebih besar daripada bahaya zina. Oleh karenanya, untuk menghukum pelaku zina Allah mensyariatkan hukuman bunuh (rajam) dengan cara yang mengerikan. Bila ada seseorang yang mendengar kabar bahwa isterinya dibunuh orang, tentu kabarnya lebih ringan dibanding dia mendengar bahwa isterinya berzina.
Sa’ad bin Ubadah t berkata, “Sekiranya aku melihat seorang pria berzina dengan isteriku, tentu aku akan memenggal lehernya dengan pedang tanpa pikir panjang lagi.” Maka sampai perkataan ini kepada Rasulullah r, lalu beliau bersabda:
(( أَتَعْجَبُوْنَ مِنْ غِيْرَةِ سَعْد؟ وَالله لَأَنَا أَغْيَرُ مِنْهُ، وَالله أَغْيَرُ مِنِّيْ، وَمِنْ أَجْلِ غِيْرَةِ الله حَرَّمَ الفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ ))
“Apakah kalian heran dengan kecemburuan Sa’ad? Demi Allah, sungguh aku ini lebih cemburu dari dia, dan Alah lebih cemburu dari aku, dan oleh karena betapa agungnya kecemburuan Allah, maka Dia haramkan segala perbuatan keji, baik yang lakhir maupun yang batin.” (Muttafaq alaih).
Dalam shahih Bukhari dan shahih Muslim, juga diriwayatkan dari Nabi r.
(( إِنَّ الله يَغَارُ، وَإِنَّ الْمُؤْمِنَ يَغَارُ، وَغِيْرَةُ الله أَنْ يَأْتِيَ العَبْدُ مَا حَرَّمَ عَلَيْهِ ))
“Sesungguhnya Allah itu cemburu, dan sesungguhnya seorang mu’min itu juga cemburu. Dan kecemburuan Allah itu akan timbul bila seorang hamba melakukan apa yang diharamkan.”.(HR. Bukhari dan Muslim).
Dalam hadis Bukhari dan Muslim, juga diriwayatkan dari Nabi r :
(( لاَ أَحَدَ أَغْيَرُ مِن اللهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ حَرَّمَ الفَوَاحِشَ مَا ظَهَرَ مِنْهَا وَمَا بَطَنَ، وَلاَ أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ العُذْرُ مِن اللهِ، مِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَرْسَلَ الرُّسُلَ مُبَشِّرِيْنَ وَمُنْذِرِيْنَ، وَلاَ أَحَدَ أَحَبُّ إِلَيْهِ الْمَدْحُ مِن اللهِ، وَمِنْ أَجْلِ ذَلِكَ أَثْنَى عَلَى نَفْسِهِ ))
“Tak ada seorangpun yang cemburu melebihi Allah, oleh karena itu Allah mengharamkan perbuatan-perbuatan keji, yang lakhir maupun yang batin. Tak ada seorangpun yang lebih senang menerima alasan daripada Allah, oleh karena itu Dia mengutus para Rasul untuk memberikan kabar gembira dan peringatan. Tak ada satupun yang lebih senang dipuji melebihi Allah, oleh karena itu Dia memuji diri-Nya sendiri.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Juga dalam kitab Ash-shahihain, diriwayatkan khutbah Nabi r di saat shalat gerhana matahari, beliau bersabda:
(( يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، وَاللهِ لاَ أَحَدَ أَغْيَرُ مِنَ اللهِ أَنْ يَزْنِيَ عَبْدُهُ أَوْ تَزْنِيَ أَمَتُهُ، يَا أُمَّةَ مُحَمَّدٍ، وَاللهِ لَوْ تَعْلَمُوْنَ مَا أَعْلَمُ لَضَحِكْتُمْ قَلِيْلاً وَلَبَكَيْتُمْ كَثِيْرًا، ثُمَّ رَفَعَ يَدَيْهِ وَقَالَ: اللَّهُمَّ هَلْ بَلَّغْتُ؟ "))
“Hai ummat Muhammad, demi Allah, tak ada satupun yang lebih pencemburu dari Allah ketika ada seorang hamba-Nya yang laki-laki atau perempuan berbuat zina. Hai ummat Muhammad, demi Allah, sekiranya kalian mengetahui seperti apa yang aku ketahui, tentu kalian akan sedikit tertawa dan banyak menangis.” Kemudian beliau mengangkat kedua tangannya seraya berkata, “Ya Allah, bukankah aku sudah sampaikan?” (HR. Bukhari dan Muslim).
Disebutkannya perbuatan dosa besar ini secara khusus setelah shalat gerhana matahari mengandung isyarat rahasia yang menakjubkan; dan semaraknya fenomena zina merupakan tanda rusaknya tatanan alam, dan itu semua adalah salah satu tanda kiamat; seperti yang disebutkan dalam As-Shahihain, dari Anas bin Malik bahwa dia berkata, "aku akan menceritakan kepada kalian sebuah hadits yang tidak akan ada orang yang akan menceritakannya kepada kalian setelah aku. Aku mendengar Rasulullah r bersabda:
(( مِنْ أَشْرَاطِ السَّاعَةِ أَنْ يَقِلَّ الْعِلْمُ، وَيَظْهَرَ الْجَهْلُ, وَيَظْهَرَ الزِّنَى، وَيَقِلَّ الرِّجَالُ وَتَكْثُرَ النِّسَاءُ، حَتَّى يَكُوْنَ لِخَمْسِيْنَ امْرَأَةٍ القَيِّمُ الوَاحِدُ ))
“Di antara tanda-tanda kiamat bila ilmu (syar’i) menjadi sedikit (kurang), dan kebodohan menggejala serta zina menyebar (di mana-mana), jumlah pria sedikit dan jumlah wanita banyak sehingga seorang laki-laki mengayomi lima puluh orang wanita.” (HR. Bukhari dan Muslim).
Salah satu sunnatullah (hukum alam) yang diberlakukan pada makhluk-Nya, yaitu ketika zina semarak di mana-mana, Allah akan murka dan kemurkaannya sangat keras, maka pasti kemurkaan itu akan berdampak pada bumi ini dalam bentuk azab dan musibah yang diturunkan.
Abdullah bin Mas’ud t berkata, “Tidaklah riba dan zina merajalela di suatu negri, melainkan Allah memaklumkan untuk dihancurkan.”
Seorang pendeta bani Israil pernah melihat anaknya sedang mengerling seorang gadis, lalu dia berkata, “Pelan-pelan, wahai anakku!” kemudian sang ayah itu pingsan di atas tempat tidurnya lalu meninggal, dan isterinya keguguran dan dikatakan kepadanya,“Beginikah caranya engkau marah untuk-Ku (melihat perzinahan hanya mengatakan, "pelan-pelan")? Sungguh, keturunanmu tidak ada yang baik selamanya.”
Hukuman Zina Memiliki Tiga Kekhususan
Allah I mengkhususkan hukuman bagi perbuatan zina dibandingkan dengan hukuman-hukuman lainnya dengan tiga hal :
Pertama: hukuman zina adalah dibunuh (dirajam) dengan cara yang mengerikan. Dalam hukuman zina yang ringan saja, Allah menggabungkan antara hukuman terhadap fisik dengan cambuk dan hukuman terhadap hati/mentalnya dengan cara diasingkan dari negerinya selama satu tahun.
Kedua: Allah melarang hamba-hamba-Nya untuk merasa kasihan terhadap pelaku zina sehingga mencegah mereka untuk memberlakukan hukuman kepada para pezina. Sebab, Allah mansyari’atkan hukuman tersebut didasarkan atas kasih sayang dan rahmat-Nya kepada mereka. Allah sangat sayang kepada kalian, namun kasih sayang tersebut tidaklah mencegah Allah untuk memerintahkan memberlakukan hukuman ini. Oleh karenanya janganlah kasih sayang yang ada di hati kalian menghalangi kalian untuk melaksanakan perintah Allah.
Hal ini –walaupun sebenarnya juga berlaku pada seluruh macam hukuman (hudud) yang disyari’atkan- namun disebutkan dalam hukuman zina secara khusus, karena memang sangat penting untuk disebutkan di sini, sebab kebanyakan orang tidak mempunyai rasa marah dan sikap kasar terhadap pezina seperti sikap mereka pada pencuri, atau orang yang menuduh berbuat zina atau pemabuk. Hati mereka cenderung lebih kasihan pada pezina ketimbang para pelaku dosa lainnya. Dan realita membuktikan hal itu. Oleh karena itu Allah melarang mereka, jangan sampai rasa kasihan mereka itu membuat tidak ditegakkannya hukuman Allah I.
Mengapa rasa kasihan pada mereka itu timbul? Penyebabnya adalah: karena perbuatan zina mungkin terjadi pada orang golongan atas, menengah dan bawah. Kemudian, dalam jiwa manusia itu terdapat dorongan yang kuat untuk melakukannya dan orang yang melakukannya juga berjumlah banyak. Dan yang paling banyak menjadi penyebabnya ialah cinta; sementara tabiat hati manusia merasa kasihan terhadap orang yang sedang jatuh cinta, bahkan banyak di antara mereka yang siap memberikan bantuan kepada mereka, walaupun sebenarnya bentuk percintaan itu termasuk yang diharamkan. Dan hal ini tidak diperselisihkan lagi. Dan diakui oleh mayoritas manusia yang cara berfikir mereka tidak jauh berbeda dengan binatang ternak, seperti kisah cinta yang sering diceritakan para jongos dan budak wanita.
Selain itu juga, perbuatan dosa ini (zina) kebanyakan terjadi atas dasar suka dan rela dari kedua belah pihak, bukan dengan pemaksaan, penganiayaan dan pemerkosaan yang membuat jiwa orang-orang geram.
Dalam hal ini, syahwat banyak berpengaruh, sehinga timbullah perasaan kasihan yang mungkin akan menghambat ditegakkannya hukuman Allah I ini semua timbul dari iman yang lemah. Kesempurnaan iman itu dicapai dengan adanya kekuatan yang dengan itu perintah Allah dapat ditegakkan, juga adanya rahmat (kasih sayang) terhadap orang yang dijatuhi hukuman tersebut, sehingga dia bisa sejalan dengan Allah dalam perintah dan rahmat-Nya.
Ketiga: Allah memerintahkan agar hukuman terhadap pelaku zina (baik itu cambuk ataupu rajam, pent) hendaknya dilakukan di hadapan khalayak orang-orang mu’min, bukan di tempat yang sepi sehingga tidak ada orang yang dapat menyaksikannya. Hal ini dilakukan agar hal tersebut lebih efektif untuk tujuan “zajr” (membuat jera pelaku dan membuat takut orang lain melakukannya). Hukuman bagi pezina yang “muhshan” (pernah menikah) diambil dari hukuman Allah terhadap kaum Nabi Luth u yang dilempar dengan batu. Karena perbuatan zina dan liwath (homoseks yang dilakukan kaum Nabi Luth u) adalah sama-sama perbuatan fahisyah (keji dan kotor). Keduanya dapat menimbulkan kerusakan yang bertentangan dengan hikmah Allah dalam penciptaan alam semesta. Kerusakan dan bahaya yang ditimbulkan oleh praktek liwath (homoseks) itu sungguh sulit untuk dihitung. Orang yang menjadi korban perbuatan tersebut lebih baik dibunuh daripada jadi objek homo; sebab dia telah tertular kerusakan yang tidak bisa diharapkan untuk baik kembali selamanya. Semua kebaikannya sudah hilang. Bumi sudah menghisap habis rasa malu dari mukanya, sehingga dia tidak akan malu lagi kepada Allah, juga kepada makhluk-Nya. Hati dan jiwa orang tersebut sudah diracuni oleh sperma pelaku liwath seperti pengaruh racun dalam tubuh manusia.
Ada perbedaan pendapat di antara sebagian orang; apakah orang yang menjadi objek liwath bisa masuk surga atau tidak? Dalam hal ini ada dua pendapat. Aku mendengar Syaikhul islam, Ibnu Taimiyah pernah mengungkapkan dua pendapat ini. Mereka yang mengatakan tidak akan masuk surga memberikan hujjah dengan beberapa hal:
Diantaranya, bahwa Nabi r bersabda:
(( لاَ يَدْخُلُ الْجَنَّةَ وَلَدُ زَنِيَّةٍ ))
“Anak zina tidak akan masuk surga”. )HR. Bukhari dalam At tarikh ash shaghir (124), dan derajatnya hasan).
Bila nasib dan kondisi anak hasil zina sudah demikian, padahal dia tidak mempunyai dosa apa-apa, hanya saja dia dicurigai sebagai tempat berbagai kejelekan dan kotoran, serta dia pantas untuk tidak mendatangkan kebaikan apapun selamanya, disebabkan karena dia tercipta dari nuthfah (sperma) yang nista; bila tubuh yang tumbuh menjadi besar dengan barang yang haram saja sangat pantas untuk masuk neraka, maka bagaimana lagi dengan tubuh yang memang tercipta dari sperna yang haram?
Mereka mengatakan, "orang yang menjadi objek liwath itu lebih jelek dari anak hasil zina, lebih hina dan lebih dina pula. Dia itu memang pantas untuk tidak mendapat hidayah kebaikan. Dia juga pantas dihalangi mendapatkan hidayah tersebut. Dan setiap kali dia melakukan amal yang baik, maka Allah akan menggandengkannya dengan amalan lain yang dapat merusaknya, sebagai hukuman baginya. Dan memang jarang kita dapati bahwa orang yang pernah jadi objek liwath di masa kecilnya, kecuali dia akan lebih parah di masa tuanya. Dia tidak berhasil mendapatkan ilmu yang bermanfaat, amal yang shalih dan taubat yang nasuha.
Namun setelah diteliti, yang lebih tepat untuk dikatakan dalam masalah ini, yaitu bahwa bila orang tersebut bertaubat dan kembali kepada Allah, kemudian mendapatkan karunia taubat yang nasuha serta amal yang shalih, lalu kondisinya di masa tua lebih baik dari kondisi di masa kecilnya, lalu merubah perbuatan-parbuatan jeleknya dengan berbagai macam kebaikan serta mencuci aibnya dengan beragam ketaatan dan pendekatan diri kepada Allah, juga menjaga pandangan matanya, menjaga kemaluannya dari yang haram dan benar-banar jujur kepada Allah dalam amalannya, maka orang yang semacam ini akan mendapat ampunan dan dia akan termasuk penduduk surga. Bila taubat itu –kita ketahui- dapat menghapus segala macam dosa, sampai dosa syirik kepada Allah, membunuh para Nabi dan para wali Allah, atau sihir, kufur dan lain sebagainya, maka kita tidak boleh membatasi penghapusan terhadap dosa yang satu ini, padahal, dengan keadilan dan karunia Yang Maha Kuasa, hikmah Allah menetapkan bahwa:
(( التَّائِبُ مِنَ الذَّنْبِ كَمَنْ لاَ ذَنْبَ لَهُ ))
“Orang yang bertaubat dari dosanya sama seperti orang yang tidak berdosa” (HR. Ibnu Majah).
Dan Allah sendiri telah memberikan jaminan bahwa barangsiapa yang bertaubat dari perbuatan syirik, pembunuhan jiwa dan zina, Allah akan mengganti perbuatan-perbuatan jeleknya dengan kebaikan-kebaikan, dan ini adalah ketentuan hukum yang umum mencakup setiap orang yang bertaubat dari berbagai macam dosa.
Allah berfirman:
“Katakanlah, Wahai hamba-hamba-Ku yang aniaya terhadap diri mereka, janganlah kalian putus asa akan rahmat Allah, sesungguhnya Allah akan mengampuni seluruh dosa, sesungguhnya Dia Maha Pengampun dan Maha Pengasih.” (QS. Az-Zumar: 53).
Dan tidak akan keluar dari keumuman ayat ini satu macam dosa pun. Namun hal ini hanya khusus bagi mereka yang bertaubat.
Bila ternyata orang yang menjadi objek liwath di masa tuanya lebih jelek dari masa kecilnya, tidak mendapatkan karunia taubat nasuha dan amal shalih, tidak segera mengganti ketaatan yang dia tinggalkan dan tidak pula mau menghidupkan apa yang sudah ia matikan, juga tidak mengubah perbuatan-perbuatan jeleknya dengan kebaikan, maka orang semacam ini sulit untuk mendapatkan husnul khatimah yang dapat memasukkannya ke dalam surga di saat akan meninggal kelak. Hal itu sebagai hukuman atas perbuatan yang jelek dengan kejelekan lainnya, sehingga bertumpuklah hukuman perbuatan jelek yang akan diterimanya, sebagaimana Allah juga memberikan ganjaran bagi sebuah perbuatan baik dengan perbuatan baik selanjutnya.
Para Pelaku Maksiat Dikhawatirkan Akan Mati Dalam Su’ul Khatimah
Bila anda perhatikan kondisi kebanyakan orang saat sakaratul maut menjemput, anda akan melihat bahwa mereka terhalangi untuk mendapatkan husnul khatimah, sebagai hukuman akibat perbuatan-perbuatan jelek mereka.
Al-hafizh Abu Muhammad Abdul Haq bin Abdurrahman Al Isybili berkata(), “ketahuilah bahwa su’ul khatimah itu (semoga Allah menjauhkan kita darinya) mempunyai beberapa penyebab. Ada jalan-jalan dan pintu-pintu yang menghantarkan kepadanya. Penyebab, pintu dan jalan yang paling besar adalah larut dengan urusan keduniaan, tidak perhatian dalam urusan akhirat dan berani maksiat kepada Allah. Bisa saja ada seseorang yang sudah terbiasa melakukan kesalahan atau maksiat tertentu, sehingga menguasai hatinya, akalnya tertawan oleh kebiasaan tersebut, pelita hatinya padam dan terbentuklah tabir yang menutupinya. Akibatnya, teguran tidak lagi akan berguna, nasihat tidak lagi akan bermanfaat dan bisa saja kematian datang menjemput saat dia dalam keadaan demikian. Lalu datanglah panggilan kebaikan dari sebuah tempat yang jauh, namun dia tidak dapat memahami maksudnya. Dia tidak tahu apa yang diinginkan oleh panggilan itu, sekalipun orang yang meneriakkan panggilan itu terus mengulangi dan mengulanginya lagi”. Diriwayatkan, bahwa ada seorang anak buah An Nashir (salah seorang pemimpin di masa Mamlukiyyah) yang menjelang sakaratul maut, kemudian anaknya berkata, “ucapkanlah, laa Ilahaa Illallah!” orang itu berucap, "An Nashir adalah tuanku.” Diulangi ucapan itu kepadanya, namun jawaban orang itu tetap sama. Tiba-tiba orang itu tidak sadarkan diri dan setelah dia siuman dia berucap lagi , “An Nashir adalah tuanku”. Begitulah terus menerus setiap kali dikatakan kepadanya ucapan, “laa Ilaaha Illallah” dia malah berucap, “An Nashir adalah tuanku”. Kemudian ia berkata kepada anaknya , “ Hai fulan, sesungguhnya An Nashir itu dapat mengenalmu hanya dengan pedang dan keberanianmu membunuh (berperang)”. Kemudian dia meninggal dunia.
Abdul Haq berkata, “pernah dikatakan juga kepada orang lain (yang saya mengenalnya) ucapkanlah, laa Ilaaha Illallah dia malah berucap, “ tolong rumah yang di sana itu diperbaiki, dan kebun yang di sana dikerjakan…”
Abdul Haq juga berkata, “di antara riwayat dari Abu thakhir As Silafiy yang mana dia telah mengizinkan aku untuk meriwayatkannya, yaitu sebuah kisah dimana ada seorang pria yang sedang sakaratul maut, kemudian dikatakan kepadanya, ucapkanlan ‘laa Ilaaha Illallah’ namun dia malah mengatakan kata-kata dengan bahasa Persia yang artinya: sepuluh dengan sebelas (maksudnya, boleh berhutang sepuluh tapi bayarnya sebelas, pent).
Dan pernah dikatakan pula pada orang lain, ucapkanlah laa Ilaaha Illallah dia malah mengatakan “mana jalan ke pemandian manjab?
Kata Abdul Haq, "jawaban yang diucapkannya itu ada ceritanya. Suatu ketika pria tersebut berdiri di depan rumahnya. Rumah tersebut pintunya menyerupai pintu sebuah tempat pemandian, tiba-tiba di situ lewat wanita cantik dan bertanya, ‘mana jalan ke pemandian manjab ? dia menjawab (sambil menunjuk ke pintu rumahnya), ini dia pemandian manjab itu! Maka, wanita itu pun masuk ke dalam rumahnya sampai kebelakang. Setelah dia sadar terjebak di rumah sang pria dan tahu bahwa dia sedang ditipu, dia pura-pura menampakkan rasa gembira dan suka cita karena pertemuannya dengan pria itu. Kemudian wanita itu berkata, "sebaiknya (sebelum kita berkumpul) engkau harus mempersiapkan untuk kita apa-apa yang dapat membuat keindahan kehidupan kita sekaligus menyenangkan hati kita". Dengan segera pria itu menjawab,’ sekarang juga aku akan membawakan untukmu semua yang kamu inginkan dan senangi". Lalu dia pergi ke luar dan meninggalkan si wanita dalam rumah, dan tidak menguncinya. Kemudia ia mengambil barang yang bisa dibawa, lalu kembali ke rumah. Tapi saying, si wanita telah keluar dan pergi. Sedikitpun wanita itu tidak mengambil apa-apa dari rumahnya. Pria itu akhirnya mabuk kepayang dan selalu ingat wanita itu tadi. Dia berjalan di lorong-lorong dan gang-gang sambil mengatakan:
يَا رُبَّ قَائِلَةٍ يَوْمًا وَقَدْ تَعِبَتْ @ كَيْفَ الطَّرِيْقُ إِلَى حَمَامِ مُنْجَاب؟
Wahai tuhan, dimana wanita yang mengatakan suatu hari dalam kondisi letih, mana jalan ke pemandian munjab?
Suatu saat, waktu dia mengucapkan bait syair tadi, ada seorang wanita berkomentar dari jendela pintu rumahnya:
هَلاَّ جَعَلْتَ سَرِيْعًا إِذْ ظَفَرْتَ بِهَا
حِرْزًا عَلَى الدَّارِ أَوْ قُفْلاً عَلَى البَابِ
Mengapa di saat sudah mendapatkannya tidak dengan segera,
engkau menutup rumah atau mengunci pintunya ?
Mendengar itu ia tambah mabuk kepayang. Begitulah terus kondisinya sehingga bait syair itu menjadi kata-kata terakhirnya saat meninggal dunia.”
Suatu malam, sufyan Ats- tsauri menangis sampai pagi. Di pagi itu ada yang bertanya kepadanya, “ adakah semua yang kau lakukan ini karena takut akan dosa ?” lalu sufyan mengambil segenggam tanah seraya berkata, “dosa lebih ringan dari segenggam tanah ini, aku menangis karena takut akan su’ul khatimah.”
Sungguh, ini adalah pemahaman yang cemerlang, seseorang khawatir dosa-dosanya akan membuatnya terhina di kala meninggal dunia nanti, sehingga dia terhalang untuk memperoleh husnul khatimah.
Al Imam Ahmad pernah menyebutkan bahwa Abu Darda’ di saat sakaratul maut, dia pingsan tak sadarkan diri, kemudian dia siuman dan membaca:
â Ü=Ïk=s)çRur öNåksEyÏ«øùr& öNèdu»|Áö/r&ur $yJx. óOs9 (#qãZÏB÷sã ÿ¾ÏmÎ/ tA¨rr& ;o§sD öNèdâxtRur Îû óOÎgÏZ»uøóèÛ tbqßgyJ÷èt á
“Dan (begitulah) kami memalingkan hati dan penglihatan mereka seperti mereka belum pernah beriman kepadanya pada permulaannya, dan kami biarkan mereka bergelimang dalam kesesatannya yang sangat” (QS. Al An’am: 110).
Dan oleh karena itu, para ulama salaf khawatir kalau dosa-dosa itu dapat menghalangi mereka untuk memperoleh husnul khatimah.
Abdul Haq juga berkata, “ketahuilah bahwa su’ul khatimah itu (semoga kita dilindungi oleh Allah darinya) tidak akan terjadi pada orang yang istiqamah dan shahih lahir dan batin, kenyataannya tidak pernah didengar dan diketahui (walillahilhamd).
Su`ul khatimah akan menimpa orang yang dasarnya sudah rusak atau senantiasa melakukan dosa besar dan mengerjakan kemaksiatan. Barangkali itu menjadi kebiasaannya, sehingga kematian datang menjemputnya sebelum sempat bertaubat, akhirnya dia meninggal sebelum memperbaiki dirinya, urat nadinya dicabut sebelum dia kembali kepada Allah, sehinga saat itu setan berhasil merenggut dan menyambarnya disaat yang genting tersebut. Na’udzu billah!”
Diriwayatkan bahwa di mesir dulu ada seseorang yang selalu pergi ke masjid untuk adzan dan melakukan shalat. Wajahnya berwibawa dan penuh cahaya ibadah. Suatu hari dia naik ke menara seperti biasanya untuk adzan, di bawah menara itu ada rumah seorang nashrani, dia melongok ke dalam rumah tersebut, dan melihat anak perempuan pemilik rumah itu, akhirnya ia tergoda dengannya, lalu dia tinggalkan adzan saat itu, dan turun untuk menemuinya, dan masuk ke dalam rumahnya. Anak perempuan itu bertanya, “ada apa, apa yang kamu inginkan?” Dia menjawab, "Aku menginginkan kamu. Dia bertanya lagi, “mengapa demikian?” dia menjawab, “sungguh engkau telah menawan jiwaku dan menguasai seluruh relung hatiku.” Perempuan itu berkata, “Aku tidak akan pernah memenuhi keinginanmu selamanya.” Pria tadi menjawab, “aku akan mengawinimu lebih dahulu.” Perempuan itu berkata, “engkau seorang muslim, aku Nasrani, ayahku tidak akan mengawinkan aku denganmu. Lelaki itu berkata, “aku akan masuk agama Nasrani!” Maka wanita itu berkata, “jika kamu lakukan itu, maka aku mau!” akhirnya lelaki itu resmi masuk Nasrani agar dapat kawin dengannya. Diapun tinggal bersama mereka. Dan pada hari itu, dia naik ke atap rumah tersebut, kemudian jatuh dan langsung mati.
Kasihan, dia tidak berhasil mendapatkan perempuan tersebut dan dia kehilangan agamanya.
Diriwayatkan pula, ada seorang laki-laki yang senang kepada seseorang. Kesenangan dan kecintaannya semakin kuat, sehingga menguasai hatinya. Bahkan, dia sampai jatuh sakit dan harus tidur istirahat karenanya. Sementara orang yang dicintai itu tidak mau menemuinya. Dia benar-benar tidak suka dan menjauh darinya. Sementara itu orang-orang berusaha mempertemukan keduanya, sehingga ia berjanji untuk menemuinya. Orang-orang datang membawa kabar tersebut, diapun gembira dan sangat bersuka-cita. Sesak di dadanya terasa hilang. İa menunggu waktu yang dijanjikan. Di saat itu, tiba-tiba datang orang yang akan mempertemukan keduanya, lalu menyampaikan, “dia sudah berangkat bersamaku sampai di tengah perjalanan, namun dia kembali lagi. Aku terus mendorong dan merayunya, tapi dia berkata, “orang itu ingat dan menyebut-nyebut aku dan dia pun bergembira dengan kedatanganku. Namun aku tidak akan masuk ke tempat yang meragukan. Aku tidak akan mempersembahkan diriku untuk tempat-tempat yang mencurigakan. Aku terus membujuknya, namun dia tidak mau dan terus pergi. Mendengar hal itu, orang yang sakit tadi langsung menjatuhkan diri dan kembali sakit dengan kondisi yang lebih parah lagi dari sebelumnya, tanda-tanda kematian sudah tampak di wajahnya, saat itu dia mengatakan dalam untaian syair:
يَا سَلْمَى يَا رَاحَةَ العَلِيْلِ @ وَيَا شِفَا المدنف النحيل
رِضَاكَ أَشْهَى إِلَى فُؤَادِي @ مِنْ رَحْمَةِ الخَالِقِ الجَلِيْلِ
Wahai salma, wahai penenang hati yang sakit.
Wahai obat bagi tubuh yang kurus.
Keridhaanmu lebih diharapkan oleh hatiku,
ketimbang rahmat Allah yang maha pencipta dan maha mulia.
Maka abdul Haq Al Isybili berkata kepadanya, “wahai fulan, takutlah engkau kepada Allah!! dia menjawab, "semuanya sudah terjadi, akhirnya aku meninggalkannya. Dan belum lagi aku melewati pintu rumahnya, aku medengar jerit suara kematiannya.
Kita berlindung kepada Allah dari su’ul khatimah.