Wednesday, March 9, 2011

MUHASABAH DIRI

Sabda Rasulullah :

Pada hari kiamat, Allah jadikan sayap untuk sekelompok umatku. Dari kuburnya mereka terbang ke Syurga, mereka beristirehat dan bersuka-suka sekehendaknya di sana. Lalu para malaikat berkata " Apakah kamu melihat hisab?". Mereka berkata " kami tidak melihat hisab". Malaikat berkata kepada mereka " Adakah kamu meniti siratul Mustaqim?" " Kamipun tidak melihat Siratul Mustaqim". Malaikat bertanya lagi " Apakah kamu melihat neraka?" Jawabnya " Kami tidak melihat sesuatu". Umat siapakah engkau?" Jawabnya " Kami umat nabi Muhammad" Tanya malaikat " Ceritakan kepadaku apakah amalanmu ketika di dunia?". Mereka berkata " Hanya dua perkara yang membuat kami mendapatkan rahmat Allah ini." " Apakah dua perkara itu?" tanya malaikat lagi. Mereka menjawab " Jika di tempat sunyi kami malu kepada Allah dan kami rela dengan apa yang sedikit yang telah diberikan oleh Allah kepada kami". Malaikat berkata " Patutlah kamu mendapatkannya!"

Kenyataannya....pada zaman ini....manusia tidak malu dengan Allah....buktinya zina semakin berleluasa....fikir-fikirkan!!!

HATI BERBICARA

Wednesday, June 9, 2010

SIAPA YAHUDI??????

Siapakah bangsa Yahudi ini ??
Menurut studi sejarah yang didasarkan penggalian arkeologi dan lembaran-lembaran kitab suci, awal bangsa Yahudi erat hubungannya dengan kisah nabi Ibrahim AS yang ditengarai terjadi kurang lebih 3800 tahun yang lalu atau 1800 tahun SM.

Tafsir Al-Qur'an menunjukkan bahwa Ibrahim (Abraham) AS, diperkirakan tinggal di daerah Palestina yang dikenal saat ini sebagai Al-Khalil (Hebron), tinggal di sana bersama Nabi Luth (Lot) (QS, 21:69-71). Putra nabi Ibrahim adalah nabi Ismail dan nabi Ishak kemudian putra nabi Ishak adalah nabi Jakub. 12 putra nabi Yakub ini yang kemudian dikenal sebagai 12 suku Israel.

Putra bungsu nabi Yakub AS adalah nabi Yusuf AS, yang dikenal dari sejarah, setelah ditinggalkan di padang pasir oleh kakak-kakaknya, berhasil menjadi kepala bendahara di Mesir. Karena itu ayahnya, nabi Yakub, serta kakak-kakaknya menyusul nabi Yusuf AS ke Mesir dan hidup damai di sana sampai suatu hari Firaun yang berkuasa memperbudak keturunan mereka yang dikenal dengan bani Israel.

Karena kekejaman Firaun yang tak terkira terhadap bani Israel, Allah SWT telah mengirim nabi Musa (Moses) AS masa itu, dan memerintahkannya untuk membawa bani Israel keluar dari Mesir.
Musa AS dan kaumnya meninggalkan Mesir, dengan pertolongan mukjizat Allah, sekitar tahun 1250 SM. Mereka tinggal di Semenanjung Sinai dan timur Kanaan. Dalam Al-Qur'an, Musa memerintahkan Bani Israel untuk memasuki Kanaan, (Qur'an, 5:21).

Setelah Musa AS, bangsa Israel tetap berdiam di Kanaan (Palestina). Menurut ahli sejarah, Daud (David) menjadi raja Israel dan membangun sebuah kerajaan berpengaruh. Selama pemerintahan putranya Sulaiman (Solomon), batas-batas Israel diperluas dari Sungai Nil di Selatan hingga sungai Eufrat di negara Siria sekarang di utara. 

Ini adalah sebuah masa gemilang bagi kerajaan Israel dalam banyak bidang, terutama arsitektur. Di Yerusalem, Sulaiman membangun sebuah istana dan biara yang luar biasa. Setelah wafatnya, Allah mengutus banyak lagi nabi kepada Bani Israel meskipun dalam banyak hal mereka tidak mendengarkan mereka dan mengkhianati Allah.
Setelah kematin Sulaiman, kerajaan yahudi terbelah di utara Israel dengan ibukota Samarria dan Di Selatan Juda dengan ibukota Yerrusalem. Dengan berlalunya waktu Suku yahudi jatuh di bawah Assyurriea dan Babilon atau pergi ke Mesir sebagai pelarian. Ketika raja Perrsia Kyros 539 SM mengizinkan orang Yahudi kembali dari pelarian mereka, banyak orang Yahudi yang tidak kembali, di sinilah mulainya Diaspora. 
63 SM Juda dan Israel jatuh ke tangan ornag Romawi dan tahun 70 berhasil menghancurkan pemberontakan Yerusalem dan menghancurkan biara dan Juda.
Awal terbentuknya Israel
Setelah itu kehidupan orang Yahudi hanya ada dalam pelarian dan pengejaran, baru di kekalifahan Usman, orang Yahudi dapat merasakan kehidupan yang damai dengan membayar pajak perlindungan. Akhir abad ke 19, ditunjang oleh Jewish Colonization Assocation Baron Hirsch, Yahudi dari Eropa Timur berreimigrasi ke Argentina dan membentuk Kolonialisme pertanian, untuk kembali ke Palestina. Ini dimulai tahun 1881.
1896 Theodor Herzl kelahiran Budapest membuat Negara Yahudi. Tujuannya untuk membuat negara untuk orang Yahudi di Palestina, didukung oleh uang hasil sumbangan dari seluruh orang Yahudi di dunia. Herzl ini juga dikenal pendiri zionisme, yang juga tidak disetujui oleh orang Yahudinya sendiri.
1914 Di Palestina hidup 1200 orang Yahudi. Setelah kekalahan kekalifahan Usman di perang dunia ke-1, Palestina menjadi bola permainan para penguasa. Para Zionis ada di sisi Inggris dan Amerika.
1917 Tanggal 2 November mentri luar negri Inggris Lord Balfour menandatangani Deklarasi Balfour untuk membangun negara yahudi. Sebulan kemudian masuklah tentara Inggris ke Yerusalem.
1920 Gabungan Negara-negara menyerahkan mandat Palestina ke Inggris. Akibatnya datanglah 75.000 lagi orang Yahudi ke Palestina. Negara-negara Arab tidak menyetujui didirikannya negar Yahudi di Palestina.
1922 Transjordania dipisahkan dari daerah mandat. Sebagai perwakilan orang Yahudi dibuatlah Jewish Agency. Di tahun ini hidup kurang lebih 80.000 orang Yahudi di Palestina
1933 Di Jerman dimulailah pengejaran secara sistematis orang Yahudi.
1936 Masyarakat Arab menentang politik masuknya orang Yahudi ke Palestina, tapi orang Yahudi dibantu oleh tentara Inggris.
1937 Sesudah pemerintah Mandat membatasi imigrasi dan pembelian tanah oleh orang Yahudi, timbullah ketegangan yang dilakukan oleh organisasi bawah tanah Yahudi terhadap orang Inggris.
1939 Pendidikan sebuah brigade Yahudi untuk memasukkan orang Yahudi ke Palestina
1945 Komisi Inggris Amerika menganjurkan penerimaan 100.000 orang Yahudi di Palestina, tapi kemudian ditolak oleh Inggris sehingga menyebabkan kerusuhan di antara Yahudi - Palestina.
1947 UNO menganjurkan pemisahan Palestina dan pembentukan negara Yahudi dan Arab. Perang antara Yahudi dan Arab menghindarkan dilanjutkannya rencana itu.
1948 Inggris mengakhiri Mandatnya atas Palestina dan tanggal 14 Mei meninggalkan Palestina. Tentara Yahudi memasuki Palestina dan mengusir orang Palestina yang didukung oleh negara-negara Arab. Di hari yang sama Ben Gurion menyerukan kemerdekaan Israel di kota yang dibentuk mereka, Tel Aviv, sehingga kemudian menyebabkan perang hari pertama Timur Tengah.
1949 Setelah perang, Israel diakui sebagai negara oleh UNO. Karena itu hiduplah ratusan ribu orang Palestina di pengasingan terutama di Gaza. Pemerintah Israel mengumumkan Yerusalem sebagai ibukota. Di Palestina ada sekitar 650.000 orang Yahudi.

Sumber dari :
http://cahayahati.multiply.com/
3. Biografi Halima Alaiyan Vertreibung aus dem Paradies

Semoga ketabahan dilimpahkan untuk para korban yang jatuh di Palestina dan Libanon, semoga Allah SWT membukakan hati para pelaku kejahatan dan ketenangan bisa segera terbentuk di sana. Amin.

Monday, May 24, 2010

Taqwa dan Pembinaan Generasi yang Unggul

Disumbang Oleh Khalif Muammar
Saturday, 09 September 2006
Kemas Kini Terakhir Saturday, 09 September 2006

Walaupun taqwa sering diulang seru oleh khatib pada setiap hari jumaat, namun realitinya kefahaman masyarakat terhadap taqwa masih pada tahap kulit dan tidak pada isinya. Pada hari ini taqwa tidak lagi difahami dengan betul.Taqwa pada umumnya difahami dalam ruang lingkup spiritual dan peribadi yang sempit. Akhirnya ia menjadi konsep yang asing dan terpisah daripada pelbagai aspek kehidupan lainnya.
Pada hakikatnya, taqwa merupakan konsep yang sangat penting dan dititikberatkan dalam Islam. Ia adalah parameter yang mengukur tingkat kerohanian seseorang Muslim. Ia adalah tujuan ibadah ditaklifkan kepada orang-orang beriman. Ini dapat dilihat dalam surah al-‘Ankabut:45 “sesungguhnya sembahyang itu mencegah dari perbuatan yang keji dan mungkar”. Solat hanya dapat mencegah dan menahan seseorang daripada berbuat maksiat dan salah apabila ibadah yang dilaksanakan menimbulkan ketaqwaan, ini bermakna ibadah solat yang tidak menimbulkan ketaqwaan adalah tidak sempurna. Surah al-Baqarah: 183 menggariskan bahawa tujuan puasa diwajibkan ialah agar seseorang itu mencapai ketaqwaan. Atas dasar inilah Rasulullah pernah memperingatkan kemungkinan seseorang itu berpuasa namun dia tidak mendapatkan apapun dari puasanya melainkan lapar dan dahaga. Oleh kerana itu ibadah bukan tujuan akhir (the end-in-itself), atau dalam bahasa lain asalkan buat sahaja tanpa melihat kepada tujuan dan hikmahnya, tetapi merupakan wahana untuk meningkatkan kerohanian manusia. Oleh yang demikian jika ibadah seseorang itu tidak meningkatkan ketaqwaannya terhadap Allah SWT maka ini menunjukkan ibadahnya tidak betul, tidak ikhlas atau kurang penghayatan. Ini juga bermakna seseorang yang tampaknya kuat beribadah tetapi memiliki tingkahlaku yang tidak baik maka ibadah yang dilakukan sebenarnya hanya luaran sahaja dan tidak meresap ke lubuk hati.

Islam memberikan perhatian yang besar terhadap pembangunan kerohanian manusia, kerana kebahagiaan seseorang amat dipengaruhi oleh keadaan kerohaniannya atau kejiwaannya. Dalam hal ini sains sosial mengenalnya dengan istilah kesihatan mental. Kerohanian jugalah yang menentukan sama ada seseorang itu baik, mempunyai sifat dan kualiti yang tinggi serta tidak mementingkan diri sendiri. Taqwa sering diterjemahkan oleh para ulama sebagai rasa takut terhadap Allah (khashyatuLlah atau God-fearing). Ada
juga yang mengatakan bahawa taqwa adalah God- conscious (ingat Tuhan), sense of responsibility (rasa
bertanggungjawab) dan self-restrain (kawalan dalaman). Tanpa bertujuan menolak makna-makna selainnya, penulis cenderung memilih untuk memberikan pengertian self-restrain (kawalan dalaman) terhadap taqwa. Ini kerana kawalan dalaman dapat mencakupi keseluruhan makna diatas, kerana jika seseorang itu ingat Allah, takut terhadap Allah dan bertanggungjawab maka semestinya akan terbentuk dalam dirinya suatu kawalan dalaman.

Taqwa dalam al-Qur'an

Dalam al-Qur'an taqwa dianggap sebagai ukuran kemuliaan manusia yang sebenar: “Sesungguhnya semulia-mulia kamu di sisi Allah ialah orang yang lebih taqwanya di antara kamu” (al-Hujurat: 13). Taqwa juga merupakan bekalan terbaik yang mampu menyelamatkan manusia di akhirat (al-Baqarah: 197). Al-Qur'an juga menyatakan bahawa kebaikan adalah ketaqwaan (al-Baqarah: 189). Ayat-ayat di atas membuktikan bahawa ketaqwaan adalah sesuatu yang sangat penting dalam kehidupan manusia. Secara tidak langsung dengan ketaqwaan maka kemuliaan seseorang akan menyerlah, begitu juga sebaliknya, seseorang yang tidak bertaqwa akan mendapat kerendahan dan kehinaan baik di dunia mahupun di akhirat. Taqwa juga merupakan kebaikan sebenar kerana ia datang dari dalam jiwa manusia dan bukan sesuatu yang boleh
dibuat-buat.Oleh kerana itu, dalam Islam taqwa merupakan kunci utama kepada akhlak mulia. Taqwa datang dari hati yang bersih dan jiwa yang suci. Seseorang yang telah memiliki taqwa dengan sendirinya akan terjaga dan terpelihara akhlaknya. Sebaliknya pula, tanpa taqwa perbuatan baik seseorang hanyalah bersifat luaran dan sementara yang kadang-kadang tidak mencerminkan sifat dalaman yang sebenar. Dalam sebuah hadith, Rasulullah s.a.w. bersabda: "Barangsiapa yang menjamin (menjaga) kepadaku lidahnya dan kehormatannya maka aku jamin baginya Syurga". Kebiasaannya Rasulullah s.a.w. tidak menjamin seseorang masuk
Syurga, namun jika seseorang itu bertaqwa maka Rasulullah s.a.w. memberi jaminan baginya Syurga. Ini kerana ketaqwaan merupakan lambang keimanan seorang Muslim, dengannya seseorang itu dengan sendirinya menjadi orang yang berakhlak mulia, tidak menyakiti orang lain dan tidak berani melakukan maksiat. Semestinya taqwa menjadi watak utama seseorang Muslim. Jika taqwa tersemai dalam jiwa seseorang maka segala perilakunya akan menjadi baik dan bermanfaat untuk semua orang. Jelasnya, taqwa membentuk keperibadian yang unggul. Ia akan mengawal seseorang daripada melakukan rasuah, pecah amanah, angkuh, menzalimi orang lain, curi tulang, hipokrit dan sebagainya.

Akan tetapi manifestasi taqwa seperti amanah, jujur, bersih dan tidak mementingkan diri, hanya akan menjadi kenyataan apabila ia dihayati dengan baik dan tidak disempitkan pada ruang lingkup spiritual dan peribadi sahaja. Oleh itu persoalan yang wajar kita renungkan adalah bagaimanakah taqwa dapat dibawa dan disemai ke dalam segala aspek kehidupan kita seharian, sama ada dalam ruang politik, ekonomi, pendidikan, kemasyarakatan dan bidang-bidang lainnya.

Relevansi Taqwa
Pada hari ini masyarakat cenderung tidak melihat relevansi taqwa dalam aktiviti seharian. Walhal taqwa tidak ada maknanya jika ia hanya difahami dalam ruang lingkup yang sempit tanpa diaplikasikan dalam kehidupan seharian. Apabila makna taqwa diterjemahkan sebagai kawalan dalaman (self-restrain), maka jelas ia sangat relevan pada hari ini. Kawalan luaran dalam bentuk penguatkuasaan undang-undang temyata tidak menyelesaikan banyak masalah yang dihadapi oleh manusia. Malah kita lihat jenayah tetap meningkat walaupun undang-undang semakin dipertingkatkan dan penguatkuasaan semakin banyak. Keunikan taqwa terletak pada tumpuannya terhadap kualiti dan bukan kuantiti. Oleh itu, dalam Islam tiada jaminan
(dalam bentuk amalan) seseorang itu masuk Syurga, hanya kerana dia telah melakukan ibadah tertentu. Dalam suatu hadith diceritakan bahwa seorang rahib yang telah beribadah seratus tahun ternyata belum tentu masuk Syurga. Ini kerana yang penting bukan kuantiti tetapi sejauh mana kesannya kepada pembentukan sahsiah (kualiti). Taqwa juga sangat relevan dengan kebahagiaan yang menjadi obsesi manusia. Kebahagian hedonistik dan materialistik yang ditawarkan oleh ideologi sekular temyata tidak menjamin kebahagiaan sebenar. Taqwa dapat memastikan keharmonian hubungan kekeluargaan dan kemasyarakatan. Taqwa juga dapat mempererat hubungan antara rakyat dengan pemerintah. Jika benar taqwa begitu penting dalam kehidupan manusia, maka persoalan yang perlu difikirkan adalah: bagaimanakah mengaplikasikan taqwa dalam bidang politik, ekonomi dan kemasyarakatan? Kita lihat dalam sejarah Islam, para Khulafa’ Rashidin mengaplikasikan taqwa dalam pemerintahan mereka. Sayyidina Umar r.a. sanggup menyamar sebagai orang biasa semata-mata untuk memastikan rakyatnya dalam keadaan baik. Beliau sangat takut apabila di akhirat nanti Allah SWT mempersoalkan mengapa dalam pemerintahannya terdapat orang yang tidak mendapatkan haknya atau dizalimi. Taqwa jugalah yang menjadikan beliau pemimpin yang lemah
lembut, suka melayan orang-orang yang lemah dan sanggup menerima teguran yang keras daripada rakyat jelata. Walhal Sayyidina Umar r.a. merupakan seorang yang terkenal dengan sifat garang dan tegas.
Hasil daripada penerapan Taqwa dalam pemerintahannya, kita lihat Sayyidina Umar r.a. berjaya membangun tamadun Islam yang unggul. Pada zaman beliau pemerintahan Islam berjaya menguasai Farsi dan mengalahkan Rome. Di masa pemerintahan beliau juga gabenor-gabenor yang dilantik dipertanggungjawabkan atas segala apa yang mereka lakukan. Beliau tidak segan menegur mana-mana pemimpin yang didapati menyeleweng. Bentuk pemerintahan seperti ini tentunya akan menjamin keadilan dan kesejahteraan rakyat. Pemimpin yang bertaqwa tidak akan mementingkan diri sendiri tetapi memikirkan nasib rakyat keseluruhan. Orang yang bertaqwa juga tidak akan gila kuasa atau menyalahgunakan kuasa apalagi mengorbankan kepentingan umum demi kepentingan diri sendiri.

Dalam bidang ekonomi pula, kita lihat bagaimana Sayyidina Umar telah menguji seorang hamba sahaya untuk menjual kepadanya binatang yang digembalanya tanpa pengetahuan tuannya. Hamba tersebut menjawab seandainya tuanku tidak tahu tetapi Allah SWT pasti tahu kerana Allah sentiasa memerhati dari langit. Dengan jawapan yang diberikan ini Sayyidina Umar bertindak membeli hamba tersebut dan membebaskannya kerana menurut beliau hamba tersebut patut mendapat kehormatan dan kemuliaan dengan iman dan taqwa yang tersemat dihatinya. Kejujuran merupakan manifestasi taqwa yang sangat kita perlukan pada hari ini. Namun oleh kerana akhlak dan taqwa tidak diberikan perhatian yang sewajarnya kita lihat pada hari ini peniaga-peniaga berusaha untuk memperdaya masyarakat dan sanggup melakukan apa sahaja untuk meraih keuntungan material. Oleh itu, kesimpulan yang dapat kita ambil adalah taqwa sangat penting untuk diaplikasikan dalam pelbagai aspek kehidupan manusia. Hanya dengan taqwa maka akan lahirlah model insan rabbani yang diinginkan oleh Islam. Dengan demikian, taqwa pada hakikatnya merentasi alam rohani kepada alam fizikal dan pekerjaan seharian. Dalam Islam tiada dikotomi antara jasmani dan rohani, justeru taqwa sebenarnya adalah penghubung antara ibadah dengan akhlak yang sememangnya tidak dapat dipisahkan.
Setelah jelas bahawa taqwa sangat penting diaplikasikan dalam kehidupan seharian, timbul persoalan bagaimanakah mengukur taqwa seseorang padahal ia bukanlah sesuatu yang boleh dilihat dengan mata kasar? Ramai yang menolak taqwa sebagai kayu ukur seorang Muslim sejati, kerana taqwa yang berada di dalam hati dikatakan tidak dapat diukur dengan mata kasar. Sebenarnya akhlak dan keperibadian seseorang merupakan cerminan taqwa yang berada dalam dirinya. Pada hari ini masyarakat boleh mengetahui integriti dan kejujuran seseorang melalui amalannya, track record yang bersih, cekap, jujur dan amanah. Begitu juga taqwa, ia dapat dilihat menerusi amalan seharian seseorang itu: ibadahnya, akhlaknya, percakapannya, gerak-geri dan tingkah lakunya. Persoalannya sejauh manakah kita memberi perhatian kepada pekerja-pekerja yang bertaqwa atau berakhlak mulia? Pada kebiasaannya, kenaikan pangkat dan merit hanya diberikan berdasarkan pencapaiannya, tempoh ia bekerja, tidak sedikit juga yang bergantung kepada hubungan yang baik dengan pihak atasan, namun kurang dipertimbangkan sejauhmana seseorang itu berlaku jujur dan
amanah, dan bagaimana perilaku sehariannya dalam menjalankan tanggungjawabnya sebagai seorang Muslim sejati. Begitu juga dalam temuduga pekerjaan, akhlak tidak menjadi keutamaan.

Taqwa dan Integriti
Ramai para pemimpin pada hari ini bercakap tentang integriti dan kejujuran untuk meningkatkan modal insan. Pada hakikatnya sebelum kemunculan konsep integriti, al-Qur’an telah lama mengungkapkannya dalam terminologi yang berlainan iaitu taqwa. Malah taqwa merupakan penyelesaian yang jitu terhadap banyak permaslahan. Kerana taqwa merupakan kawalan dalaman yang timbul daripada kesedaran masing-masing individu akan kebesaran Allah s.w.t. Namun oleh kerana ia tidak diberikan perhatian yang sewajarnya dan tidak dikembangkan maka ia telah dilupakan dan diabaikan. Kemudian pada hari ini kita kembali mengusung idea ini dengan merujuk kepada sumbangan tamadun Barat. Namun demikian kita lihat konsep integriti pada hari ini menghadapi banyak masalah dan berada dalam paradoks: persoalan yang timbul adalah bagaimana untuk melahirkan pekerja yang jujur dan bersih dalam dunia di mana materialisme dan konsumerisme menjadi cara hidup? Nilai-nilai moral semakin terhakis dan terlalu banyak godaan
(temptation) yang dapat mempengaruhi seseorang itu berlumba-lumba untuk hidup senang-lenang. Ini ditambah lagi dengan hampir tiadanya role model yang boleh dijadikan ikutan dan contoh keperibadian mulia.
Oleh kerana itu persoalan mendasar yang perlu dikaji terlebih dahulu ialah apakah mungkin merealisasikan masyarakat yang ideal (bersih dan amanah) tanpa kekuatan rohani? Daripada perspektif Islam, jawapannya tentu sekali tidak. Oleh itu pembangunan rohani perlu diberikan perhatian yang sama banyak dengan pembangunan material. Bermula dengan sikap ibubapa dan tenaga pendidik, semua pihak perlu memberikan perhatian yang seimbang antara pendidikan rohani dan juga pendidikan akademik, agar generasi yang lahir tidak mudah dihanyutkan oleh arus deras materialisme dan hedonisme.

Golongan pendidik juga perlu memikirkan bukan sahaja peningkatan kecemerlangan akademik yang menjadi obsesi semua institusi pendidikan tetapi juga bagaimana melahirkan graduan yang berakhlak dan berbudi pekerti. Gejala sosial akan dapat dikurangkan jika pelajar-pelajar dididik dengan akhlak mulia dan yang mempunyai benteng kerohanian yang cukup kuat (taqwa). Apa yang jelas ialah pendidikan sekular di Barat tidak mampu melahirkan manusia yang jujur dan mempunyai integriti yang tinggi kerana telah mengetepikan bimbingan agama. Sehingga fenomena yang berlaku adalah wujudnya segolongan manusia yang disebut dengan ‘schooled and yet uneducated’ atau ‘knowledgeable barbarians’ (penyangak-penyangak yang berpendidikan).

Khairaummah.com
http://khairaummah.com Menggunakan Joomla! Generated: 25 May, 2010, 10:05